
Monolith vs Microservices vs Serverless: Mana Terbaik?

Halo DomaiNesians! Pernah galau memilih antara Monolith vs Microservices vs Serverless untuk aplikasi kamu? Di era digital yang serba cepat seperti sekarang, ada banyak cara untuk membangun dan mengelola aplikasi. Ada yang bilang Monolith itu kuno tapi stabil, Microservices fleksibel tapi ribet, atau Serverless yang katanya serba otomatis. Tapi… mana yang sebenarnya paling cocok buat kebutuhan kamu?
Di artikel ini, kami akan membahas secara lengkap perbandingan Monolith vs Microservices vs Serverless dengan bahasa yang santai tapi tetap informatif. Kamu akan tahu kelebihan dan kekurangan masing-masing arsitektur, serta tips biar nggak salah pilih. Yuk, kenalan lebih jauh dengan tiga arsitektur aplikasi paling populer saat ini!

Apa Itu Monolith?
Sebelum bahas lebih jauh soal Monolith vs Microservices vs Serverless, penting banget buat kamu ngerti dulu apa itu Monolith. Nah, secara sederhana, Monolith adalah arsitektur aplikasi yang dibangun sebagai satu kesatuan utuh. Bayangin aja kayak sebuah bangunan apartemen yang semuanya jadi satu blok, dari kamar tidur sampai dapurnya nyatu semua dalam satu gedung besar.
Di dunia nyata, banyak aplikasi klasik yang dulu (dan bahkan sampai sekarang) masih pakai Monolith. Misalnya aplikasi pengelolaan keuangan yang seluruh fiturnya—mulai dari login, laporan, hingga transaksi, dijalankan dalam satu unit besar.
Kelebihan Monolith
- Simpel dan mudah dimulai – cocok banget buat kamu yang baru bangun aplikasi dari nol karena strukturnya tidak ribet.
- Deployment jadi praktis – cukup sekali deploy untuk seluruh komponen aplikasi.
- Debugging lebih mudah – karena semua dalam satu tempat, mengecek error jadi lebih cepat ketahuan sumbernya.
Kekurangan Monolith
- Sulit di-scale – kalau aplikasinya makin besar, Monolith cenderung jadi lambat dan tidak fleksibel.
- Maintenance berat – satu perubahan kecil bisa berisiko ganggu seluruh sistem.
- Kurang fleksibel – tidak cocok kalau kamu butuh update cepat di bagian tertentu aja.
Intinya, Monolith masih jadi pilihan yang oke buat aplikasi sederhana atau proyek kecil yang belum butuh fleksibilitas tinggi. Tapi semakin kompleks aplikasimu, makin besar juga tantangan yang harus dihadapi.
Apa Itu Microservices?
Sekarang masuk ke lawannya si Monolith: Microservices. Nah, kalau Monolith itu ibarat satu gedung besar, Microservices lebih kayak komplek perumahan, setiap rumah berdiri sendiri tapi tetap terhubung dalam satu kawasan. Artinya, aplikasi kamu dipecah jadi bagian-bagian kecil yang masing-masing punya fungsi spesifik dan bisa berjalan secara independen.
Misalnya kamu punya aplikasi e-commerce. Di sana ada layanan untuk login, katalog produk, pembayaran, hingga notifikasi. Kalau pakai arsitektur Microservices, masing-masing layanan itu berdiri sendiri dan bisa dikembangkan atau di-deploy secara terpisah. Keren, kan?
Kelebihan Microservices
- Skalabilitas tinggi – kamu bisa nge-scale hanya bagian yang butuh resource lebih tanpa mengubah bagian lain.
- Fleksibel – tiap tim bisa kerja di layanan yang berbeda dengan teknologi yang berbeda juga.
- Fault tolerance lebih baik – kalau ada satu layanan error, layanan lain tetap jalan normal.
Kekurangan Microservices
- Kompleksitas meningkat – kamu harus siap dengan sistem yang lebih ribet, terutama soal komunikasi antar layanan.
- Butuh tim yang solid – karena kompleks, Microservices cocok buat tim yang udah paham cara kerjanya.
- Biaya operasional lebih besar – ada tambahan biaya untuk infrastruktur dan monitoring yang lebih kompleks.
Microservices jadi pilihan pas buat kamu yang pengen bangun aplikasi skala besar atau yang butuh fleksibilitas tinggi. Tapi ingat, semakin canggih, tantangannya juga makin banyak!
Apa Itu Serverless?
Nah, sekarang bahas yang paling kekinian: Serverless. Dari namanya mungkin bikin kamu mikir, “Masa iya tidak ada server sama sekali?” Tenang, bukan berarti benar-benar tanpa server, ya. Serverless itu maksudnya kamu tidak perlu repot mikirin urusan server karena semua di-handle sama penyedia layanan cloud. Jadi, kamu fokus aja ke koding dan fitur aplikasi, soal infrastruktur biar mereka yang urus.
Contoh nyatanya? Beberapa contoh layanan Serverless adalah AWS Lambda, Google Cloud Functions, dan Azure Functions. Kamu tinggal tulis fungsi, deploy, dan… beres! Layanan ini akan jalan otomatis saat dibutuhkan.
Kelebihan Serverless
- Hemat biaya – kamu cuma bayar sesuai pemakaian, jadi tidak ada biaya untuk server nganggur.
- Auto-scale – tanpa ribet setting manual, sistem langsung menyesuaikan kapasitas saat trafik naik.
- Time to market yang cepat – ideal buat kamu yang ingin segera meluncurkan produk atau fitur baru.
Kekurangan Serverless
- Cold start – kadang ada delay saat fungsi pertama kali jalan setelah lama tidak dipakai.
- Vendor lock-in – kamu jadi sangat bergantung sama penyedia layanan cloud tertentu.
- Kurang cocok untuk long-running tasks – serverless lebih optimal buat tugas-tugas yang singkat.
Serverless sangat pas untuk proyek atau aplikasi dengan beban kerja yang fluktuatif, atau kalau kamu ingin mulai cepat tanpa ribet urus infrastruktur.

Perbandingan Head-to-Head: Monolith vs Microservices vs Serverless
Sekarang, bakal bahas lebih detail tentang kelebihan dan kekurangan tiap arsitektur ini. Ini dia beberapa faktor penting yang perlu kamu pikirkan sebelum menentukan pilihan:
1. Skalabilitas
- Monolith – skalabilitas Monolith terbatas karena seluruh aplikasi dibangun dalam satu unit besar. Saat aplikasi tumbuh, seluruh sistem perlu diskalakan, yang bisa jadi sulit dan mahal. Misalnya, kalau hanya satu bagian aplikasi yang perlu lebih banyak resource, kamu tetap harus menambah kapasitas untuk seluruh aplikasi.
- Microservices – Microservices unggul dalam hal skalabilitas. Karena tiap layanan terpisah, kamu bisa menskalakan setiap layanan sesuai kebutuhan tanpa harus mengubah bagian lain dari aplikasi. Jadi, kalau ada satu bagian aplikasi yang membutuhkan lebih banyak resource, kamu bisa menambahkannya tanpa ganggu bagian lainnya.
- Serverless – Serverless menawarkan skalabilitas otomatis. Sistem akan menyesuaikan kapasitas berdasarkan jumlah request yang masuk, sehingga kamu tidak perlu khawatir soal pengelolaan server atau infrastruktur. Cukup bayar sesuai dengan penggunaan, dan sistem akan berkembang otomatis tanpa perlu intervensi manual.
2. Kompleksitas
- Monolith – Monolith memiliki struktur yang lebih sederhana. Semua bagian aplikasi terintegrasi dalam satu sistem, jadi lebih mudah untuk memulai dan memahami keseluruhan aplikasi. Namun, ketika aplikasi tumbuh besar, Monolith bisa menjadi sangat kompleks untuk dikelola dan diubah.
- Microservices – Microservices jauh lebih kompleks karena tiap layanan berfungsi independen dan berkomunikasi satu sama lain. Hal ini membutuhkan pengelolaan yang cermat, seperti penggunaan API Gateway, message queues, dan sistem monitoring yang lebih rumit. Tim pengembang juga perlu menguasai lebih banyak hal untuk mengelola layanan-layanan yang terpisah ini.
- Serverless – Serverless cukup simpel dalam hal pengelolaan, karena sebagian besar pengaturan infrastruktur ditangani oleh penyedia layanan cloud. Namun, meskipun tidak ada server yang perlu dikelola, kamu tetap harus memperhatikan masalah seperti cold start (latensi saat fungsi pertama kali dipanggil setelah idle) dan keterbatasan dalam hal durasi eksekusi fungsi.
3. Biaya
- Monolith – Monolith seringkali lebih murah di awal karena hanya membutuhkan satu server untuk menjalankan seluruh aplikasi. Namun, seiring aplikasi berkembang dan membutuhkan lebih banyak resource, biaya operasional bisa meningkat drastis. Selain itu, perawatan dan perbaikan juga akan lebih mahal ketika aplikasi semakin besar.
- Microservices – Microservices membutuhkan lebih banyak infrastruktur karena setiap layanan berjalan secara independen. Ini berarti biaya lebih besar dalam hal server, bandwidth, dan pengelolaan. Namun, dalam beberapa kasus, kamu bisa lebih menghemat biaya dengan meng-scale hanya layanan tertentu.
- Serverless – hemat biaya karena tagihan hanya muncul untuk pemakaian yang benar-benar terjadi. Tidak ada biaya tetap untuk server yang nganggur. Namun, jika aplikasi kamu membutuhkan banyak eksekusi, biaya bisa cepat naik karena perhitungan berdasarkan jumlah request dan waktu eksekusi.
4. Time to Market
- Monolith – umumnya lebih cepat dikembangkan di fase awal proyek. Karena semua bagian aplikasi sudah terintegrasi, kamu bisa lebih cepat membuat prototipe dan meluncurkannya. Namun, jika aplikasi berkembang, pengembangan bisa menjadi lebih lambat karena segala sesuatu harus ditangani dalam satu tempat.
- Microservices – mengembangkan aplikasi dengan Microservices bisa lebih lama di awal karena kamu perlu memecah aplikasi menjadi bagian-bagian terpisah, membangun komunikasi antar layanan, dan mengkonfigurasi infrastruktur yang diperlukan. Tapi, setelah itu, pengembangan bisa lebih cepat karena tim bisa bekerja secara paralel pada berbagai layanan.
- Serverless – Serverless menawarkan waktu peluncuran yang sangat cepat. Kamu cukup menulis fungsi, deploy, dan aplikasi bisa langsung jalan tanpa perlu mengelola server. Ini sangat cocok untuk startup atau proyek yang butuh time to market cepat.
5. Maintenance
- Monolith – untuk aplikasi Monolith, maintenance bisa jadi sangat berat saat aplikasi berkembang. Perubahan kecil pada satu bagian bisa berdampak pada keseluruhan aplikasi. Selain itu, bug di satu tempat bisa menyebar ke seluruh aplikasi, membuat pemeliharaan lebih rumit.
- Microservices – Microservices memudahkan pemeliharaan, karena tiap layanan bisa dikelola secara independen. Kalau ada bug, kamu bisa fokus memperbaiki bagian tertentu tanpa mempengaruhi layanan lainnya. Namun, memantau dan mengelola banyak layanan sekaligus bisa menjadi tantangan, terutama jika sistem komunikasi antar layanan tidak optimal.
- Serverless – Serverless mengurangi beban maintenance karena penyedia cloud yang menangani infrastruktur. Kamu tinggal fokus pada logika bisnis aplikasi. Namun, meskipun maintenance server minimal, kamu tetap harus menjaga kode tetap efisien agar tidak menambah biaya.
6. Cocok untuk Siapa?
- Monolith – Monolith cocok untuk proyek kecil hingga menengah yang tidak membutuhkan skalabilitas besar dan bisa dijalankan dengan mudah di satu server. Jika kamu baru mulai dan aplikasi masih sederhana, Monolith adalah pilihan yang baik.
- Microservices – paling pas untuk perusahaan besar yang butuh fleksibilitas, skalabilitas, dan pemisahan antar fungsi aplikasi. Ideal untuk tim besar yang dapat mengelola kompleksitas dan menginginkan kontrol lebih terhadap setiap bagian aplikasi.
- Serverless – ideal untuk aplikasi dengan beban kerja yang naik-turun atau butuh pengembangan cepat. Biasanya, ini digunakan untuk aplikasi berbasis event, seperti notifikasi, API, atau aplikasi dengan penggunaan yang tidak konstan.
Kapan Kamu Harus Pilih yang Mana?
Sekarang sudah bahas panjang lebar tentang Monolith vs Microservices vs Serverless, dan kamu pasti bertanya-tanya, “Kapan nih waktu yang tepat untuk memilih salah satu dari ketiganya?” Jawabannya tergantung banget pada kebutuhan aplikasi kamu, skalanya, dan tim yang terlibat. Yuk, coba bedah kapan sebaiknya kamu pilih masing-masing arsitektur ini!
1. Pilih Monolith jika:
- Aplikasi kamu masih sederhana – kalau aplikasi yang kamu bangun baru berfungsi untuk tugas yang sangat spesifik dan tidak terlalu besar, Monolith bisa jadi pilihan yang oke. Misalnya, aplikasi untuk mengelola data kecil atau website sederhana.
- Tim kamu kecil – dengan Monolith, pengembangan dan pemeliharaan cenderung lebih simpel, jadi tim kecil atau tim solo bisa lebih cepat beradaptasi dan menyelesaikan tugas-tugas pengembangan.
- Butuh pengembangan cepat – kalau tujuan kamu adalah meluncurkan aplikasi secepat mungkin dengan minimal konfigurasi, Monolith adalah pilihan yang praktis.
- Budget terbatas – karena lebih sederhana dan bisa dijalankan di satu server, Monolith biasanya lebih hemat biaya di tahap awal.
2. Pilih Microservices jika:
- Aplikasi kamu kompleks dan besar – jika aplikasi kamu sudah cukup besar dan mencakup banyak fitur yang berbeda (seperti e-commerce dengan katalog produk, pembayaran, dan sistem rekomendasi), Microservices memungkinkan kamu untuk mengelola tiap bagian aplikasi secara terpisah.
- Kamu butuh fleksibilitas dan skalabilitas tinggi – Microservices cocok buat aplikasi yang harus bisa berkembang seiring waktu. Kalau kamu ingin menambah fitur baru tanpa mengganggu sistem yang sudah ada, Microservices bisa jadi solusi yang sangat fleksibel.
- Tim pengembang cukup besar – karena Microservices mengharuskan tim bekerja pada bagian yang lebih kecil dan independen, tim besar yang terorganisir dengan baik bisa bekerja lebih efisien. Kamu juga bisa memakai berbagai teknologi untuk setiap layanan, menyesuaikan dengan kebutuhan masing-masing.
- Mengutamakan fault tolerance – kalau sebagian layanan gagal tapi aplikasimu harus tetap berjalan, Microservices adalah pilihan yang pas. Sebab, masalah di satu layanan tidak akan mempengaruhi keseluruhan sistem.
3. Pilih Serverless jika:
- Aplikasimu berbasis event – Serverless pas banget untuk aplikasi yang butuh respon cepat terhadap event tertentu, seperti sistem notifikasi, layanan API, atau aplikasi berbasis event.
- Proyek kamu tidak memerlukan server yang selalu aktif – Serverless paling efektif untuk aplikasi yang memiliki trafik fluktuatif. Kalau aplikasi kamu hanya butuh server aktif ketika ada request, seperti API yang di-trigger oleh pengguna, maka model ini akan lebih efisien secara biaya.
- Kamu ingin pengembangan yang cepat tanpa mengelola infrastruktur – dengan Serverless, kamu tidak perlu khawatir soal server, scaling, atau maintenance. Cukup fokus pada pengembangan kode, dan penyedia layanan cloud akan mengurus sisanya.
- Budget terbatas tapi punya beban kerja tidak terprediksi – dengan Serverless, kamu hanya bayar sesuai penggunaan. Jadi, kalau aplikasi kamu punya beban kerja yang kadang tinggi dan kadang rendah, serverless bisa membantu mengurangi biaya infrastruktur yang tidak perlu.
Dengan memahami perbedaan Monolith vs Microservices vs Serverless, kamu bisa memilih arsitektur yang paling sesuai dengan kebutuhan aplikasi dan tim kamu. Setiap model punya kelebihan dan kekurangan, jadi jangan ragu untuk memilih yang paling sesuai dengan tujuan dan sumber daya yang kamu miliki.

Pilih Arsitektur yang Tepat untuk Masa Depan Aplikasimu
Menentukan arsitektur aplikasi memang nggak bisa sembarangan. Dengan memilih model yang tepat, kamu bisa mengoptimalkan pengembangan dan skalabilitas aplikasi, serta memudahkan tim dalam pemeliharaan. Harapannya, ulasan Monolith vs Microservices vs Serverless ini bisa membimbing kamu menemukan pilihan yang tepat.
Jangan ragu untuk konsultasi lebih lanjut mengenai kebutuhan penyimpanan data atau menggunakan layanan yang tepat untuk mendukung infrastruktur aplikasi kamu. Jika kamu mencari solusi penyimpanan yang mudah dikelola dan scalable, Object Storage bisa menjadi pilihan ideal untuk mendukung kebutuhan aplikasi kamu.