Privasi di Era Digital, Amankah?

Oleh Ratna Patria

privasi

Privasi masih menjadi momok yang sering diperbincangkan di era digital, terutama soal perlindungannya. Di tahun 2018 lalu, 2 perusahaan teknologi terbesar di dunia, Facebook dan Google, harus berhadapan dengan kongres guna mempertanggungjawabkan “kesalahan teknis” yang ada di platform mereka. Di Indonesia sendiri, privasi di era digital juga masih menakutkan banyak orang. Data dari Google Trend menunjukkan, tingkat pencarian orang indonesia terhadap isu privasi meningkat hingga 750% dalam kurun waktu 12 bulan terakhir. Whatsapp, Instagram, Facebook, Google, dan berbagai layanan digital lainnya menjadi momok sekaligus candu bagi orang Indonesia. Banyak yang takut, tapi banyak juga yang memakainya. Hal tersebut lantas menimbulkan pertanyaan baru. Amankah privasi para netizen di era digital?

Pengaruh Era Digital bagi Privasi

privasi

Sebelum terlalu jauh membahas bahya era digital, sebenarnya apa pengaruhnya bagi hidup orang-orang dengan adanya era digital? Bagi banyak orang, era digital mampu membuat hidup lebih mudah. Dengan adanya media sosial, orang mampu berkomunikasi dengan lebih mudah. Dengan adanya mesin pencari, orang mampu mencari informasi dengan lebih mudah. Dengan adanya situs dan aplikasi penunjang kerja, orang mampu bekerja dengan lebih mudah. Namun, apa era digital hanya membawa kemudahan bagi para penggunanya?

Jawabannya ada dalam buku karangan Jamie Bartlett, The People vs The Tech. Bartlett mengajak para pembacanya untuk kritis terhadap kemudahan-kemudahan yang ditawarkan penggunanya. Meskipun dirinya tidak menampik hidup menjadi lebih mudah setelah memasuki era digital, tetapi ada beberapa hal yang akan mengancam sisi perlindungan privasi jika perkembangan era digital tidak diatur.

Jargon “membuat dunia menjadi lebih baik” membuat berbagai perusahaan teknologi digital mengembangkan berbagai macam piranti dan aplikasi untuk memudahkan hidup penggunanya. Namun, hal tersebut lambat laun akan merugikan para penggunanya sendiri. Bartlett menunjukkan hal tersebut dalam bukunya dengan data yang lengkap mengenai iklan yang manipulatif, pengalihan “penalaran moral dan politik” dari manusia ke mesin, dan algoritma pengumpul data.

Kesimpulannya, perkembangan teknologi yang terlalu maju akan membuat segala perilaku manusia akan dimonitor oleh teknologi. Hal tersebut tentu akan menyalahi aturan privasi bagi setiap orang. Lebih lanjut lagi, segala perilaku orang-orang bisa saja akan dibatasi oleh teknologi yang mereka gunakan.

Bahaya Data Privasi Bocor

privasi

Berbicara mengenai menyalahi aturan privasi, tentu kita masih ingat mengenai skandal Facebook dan Cambridge Analytica. Facebook “kecolongan” dengan secara tidak sadar membagikan data 50 juta penggunanya kepada Cambridge Analytica. Salah satu whistleblower, Christopher Wylie mengungkapkan bahwa Facebook memberikan izin bagi sebuah aplikasi bernama “thisisyourdigitallife” buatan Dr. Aleksandr Kogan, akademisi Cambridge, untuk melihat data pengguna Facebook. Kemudian, Kogan membagikan data penggunanya ke Cambridge Analytica tanpa sepengetahuan Facebook. Cambridge Analytica menggunakan data tersebut sebagai bahan kampanye Donald Trump, Presiden AS saat ini.

Tentu hal ini memicu kemarahan dan kekhawatiran netizen pengguna Facebook. Mereka marah karena perusahaan sebesar Facebook bisa kecolongan data penggunanya. Jajak pendapat yang dilakukan GBH Insight mengatakan bahwa 15 persen pengguna Facebook akan mengurangi waktunya dalam mengakses Facebook setelah skandal Cambridge Analytica. Selain itu, muncul gerakan #DeleteFacebook sebagai respon kelalaian Facebook dalam menjaga data penggunanya. Pada akhirnya, Facebook dimintai keterangan di depan kongres tentang bagaimana Facebook ke depannya akan menjaga keamanan data penggunanya.

Lantas, apa yang bisa dipelajari dari Cambridge Analytica? Sepercaya apapun orang-orang terhadap keamanan para perusahaan teknologi, potensi untuk kebocoran data akan selalu ada. Lalu, apa solusi untuk menghindari kebocoran data? Tetap yang paling bisa mencegah kebocoran data adalah diri sendiri.

Baca Juga : Apa Itu SSL? Manfaatnya Bagi Keamanan Website Bisnis

Membatasi Diri di Era Digital

Italia di tahun 2016 menjadi tahun yang berat bagi Tiziana Cantone. Pasalnya, video seks miliknya tersebar di media digital tanpa persetujuan dirinya. Cantone memberikan video tersebut ke temannya, lalu temannya mengunggah video tersebut ke internet. Akibatnya, Cantone menghadapi perundungan yang luar biasa. Bahkan percakapan Cantone di video tersebut sempat menjadi bahan meme, kaos, dan atribut-atribut lainnya. Hal tersebut membuat Cantone harus menjauh dari lingkungannya, keluar dari pekerjaannya, pindah ke kota Tuscany, serta mengganti namanya.

Apa Cantone menempuh jalur hukum? Tentu saja iya. Cantone meminta pengadilan Italia untuk mengabulkan permohonan “rights to be forgotten” atau hak untuk dilupakan. Hak tersebut menyatakan kalau semua orang bisa meminta pemerintah untuk menghilangkan segala jejak digital mereka dalam segala situs web maupun situs pencari data. Setelah proses pengadilan yang panjang, akhirnya Cantone memenangkan permohonannya. Segala jejak digital tentang dirinya dan video seks tersebut hilang dari mesin pencari dan berbagai situs web, termasuk di Facebook.

Namun, hal tersebut tetap tidak menghentikan perundungan yang dialami oleh Cantone. Videonya yang sudah terlanjur tersebar luas membuat orang-orang sudah tahu tentang skandal Cantone. Videonya sudah hilang, tapi perundungan tetap berjalan. Akhirnya, Cantone mengakhiri hidupnya dengan gantung diri di rumah bibinya pada akhir 2016.

Ada hal menarik dari kasus Tiziana Cantone, yaitu keberadaan netizen. Meskipun video seks milik Cantone sudah dihapuskan, tetapi netizen yang terlanjur melihat dan mengonsumsi video tersebut akan tetap memproduksi isu yang berkaitan tentang itu.

Selain itu, isu penting Tiziana Cantone yang sering terlupakan adalah persetujuan pengguna. Jika saja penyebar video tersebut meminta persetujuan Cantone dulu sebelum mengunggah video, tentu saja peristiwa ini tidak akan terjadi. Oleh karena itu, batasilah diri dalam mengunggah segala informasi diri di media digital. Selalu pertimbangkan baik dan buruk ketika mengunggah informasi diri di media digital.

Era Digital Hidup Karena Kita

Bartlett dalam The People vs The Tech selalu menekankan bahwa era digital menggerus kebebasan privasi. Selain itu, Bartlett juga menyatakan bahwa kita adalah “makanan” bagi perusahaan teknologi. Berbagai layanan digital seperti Facebook, Google, Twitter, dan lain sebagainya akan berkembang selama kita masih memakainya.

Bagi perusahaan teknologi, setiap gerakan kita di dunia digital akan menjadi makanan bagi mereka. Berbagai aktivitas seperti klik, komentar, dan share yang kita lakukan menjadi sumber kehidupan mereka. Dengan iming-iming “gratis untuk menggunakan” yang mereka berikan membuat kita terdistraksi dan kecanduan. Bahkan, klik, komentar, dan share kita akan mampu menentukan pilihan hidup kita tanpa memberikan kebebasan bagi kita untuk memilih.

Lalu, solusi apa yang bisa dilakukan? Bartlett menyarankan beberapa hal untuk menghindari masalah di era digital. Pertama, kita harus bertanggungjawab kalau kita adalah pembangun media digital. Selalu luangkan waktu untuk membaca “terms and condition” yang ditampilkan dan pikirkan baik dan buruk bagi diri.

Kedua, selalu hati-hati menekan menekan tombol like, share, atau komentar agar data tentang aktivitas kita tidak terbaca. Lebih lanjut lagi, kita bisa memakai layanan yang membuat kita aman saat terhubung ke dunia maya.

Ketiga, perbanyak waktu untuk keluarga dan diri sendiri. Dunia maya akan membuat orang untuk candu dan sering menghabiskan waktu di dunia maya. Jadi, untuk mengurangi candu itu mulailah dengan meluangkan waktu untuk diri sendiri dan lingkungan terdekat.

Keempat, selalu gunakan media digital untuk kegiatan positif. Kamu bisa membuat blog, jualan online, atau menulis artikel. Asalkan, jangan sampai kamu mengumbar data pribadi kamu.

Jadi, apa privasi di era digital tetap aman? Aman, kok. Selama kita selalu sadar dan pertimbangkan segala baik dan buruk jika mengunggah data pribadi di media digital.

Ratna Patria

Hi! Ratna is my name. I have been actively writing about light and fun things since college. I am an introverted, inquiring person, who loves reading. How about you?


Berlangganan Artikel

Dapatkan artikel, free ebook dan video
terbaru dari DomaiNesia

{{ errors.name }} {{ errors.email }}
Migrasi ke DomaiNesia

Pindah Ke DomaiNesia

Tertarik mendapatkan semua fitur layanan DomaiNesia? Dapatkan Diskon Migrasi 40% serta GRATIS biaya migrasi & setup

Ya, Migrasikan layanan Saya!

Hosting Murah

This will close in 0 seconds